Hukuman Mati dari Sudut Pandang Kekristenan
|
|
0 comments
Ada tiga pandangan dasar mengenai hukuman mati yaitu rekonstruksionisme, rehabilitasionisme, dan retribusionisme.1. Rehabilitasionisme
Pandangan ini beranggapan bahwa tidak ada hukuman mati untuk kejahatan apapun juga. Menurut pandangan ini tujuan dari keadilan adalah seharusnya bersifat memperbaiki atau biasa disebut dengan rehabilitasi sehingga kita harus berusaha memperbaiki penjahat, bukan menghukum dia, atau sedikitnya bukan hukuman mati.
Pandangan ini berargumentasi bahwa dalam perkataan Yehezkiel yang menyatakan bahwa Allah tidak berkenan terhadap kematian orang fasik tetapi berkenan kepada pertobatannya supaya dia hidup (18:23)selain itu menurut pendukung pandangan ini bahwa hukuman mati adalah bagian sistem hukum Perjanjian Lama yang dihapus oleh Kristus (Mat 5:38)hal ini terlihat dalam Yohanes 8:11 dimana menurut mereka Yesus menghapus hukuman mati karena perzinahan, dalam teks ini Yesus tidak menghukum perempuan yang kedapatan berzinah yang menurut hukum Perjanjian Lama harus dihukum mati (Im 20:10)lalu Kain juga tidak dijatuhi hukuman mati walau sudah membunuh Habel (Kej 4:15), Daud tidak dijatuhi hukuman mati walaupun melakukan dua kejahatan besar yaitu perzinahan dan pembunuhan. Sesungguhnya , ketika dia mengakui dosanya (Maz 51), dia diampuni dan argumentasi yang terakhir adalah bahwa Salib adalah hukuman mati bagi semua orang. Karena dosa membawa kematian (Rm 6:23), dan karena Kristus mati (Rm 5:12-18), maka Dia telah mengambil alih hukuman mati untuk semua orang. Dipandang dari penderitaan hukuman mati yang dialami-Nya untuk semua orang, seharusnya tidak ada lagi hukuman mati untuk siapapun juga.
Evaluasi pandangan Rehabilitasionisme
Tujuan utama dari keadilan bukanlah rehabilitasi. Tujuan utama dari keadilan bukanlah perbaikan tapi hukuman. Hal ini jelas baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Allah sendiri menghukum dosa (Kel 20:5; Yeh 18:4, 20), dan Dia menuntut agar kekuasaan yang tepat melakukannya juga (Kej 9:6; Kel 21:12). Dan satu-satunya hukuman yang adil untuk mencabut nyawa adalah memberikan nyawa. Hanya dengan demikian keadilan dipuaskan. Hukuman mati digenapi oleh Kristus (Mat 5: 17; Rm 10:4) namun Allah mengadakan hukuman mati untuk semua manusia pada zaman Nuh (Kej 9:6) lama sebelum Musa memberikan hukum taurat kepada bangsa Israel (Kel 20). Paulus juga menyatakan di dalam prinsip (Rm 13:4) dan menyatakannya secara tidak langsung di dalam praktek (Kis 25:11)sedangkan tanggapan Yesus terhadap wanita yang berzinah tidak mencabut kembali hukuman mati. Yesus tidak menolak hukum Musa ini karena dibutuhkan sedikitnya dua saksi yang menuduh wanita tersebut (Yoh 8:11). Hukuman Kain secara tidak langsung mengandung hukuman mati. Ada alasan mengapa Kain tidak dijatuhi hukuman mati. Pertama-tama siapa yang akan melakukannya? Tidak ada lembaga manusia lainnya selain keluaga, saudaranya laki-laki satu-satunya mati. Mengingat keadaan khusus ini secara pribadi Allah memperingan hukuman mati Kain. Allah memiliki hak untuk itu karena Dia adalah pencipta kehidupan (Ul 32:39; Ayb 1:21)lalu untuk Daud ada alasan-alasan khusus mengapa Daud tidak dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi Israel adalah suatu kerajaan, dan Daud adalah rajanya. Sebenarnya hukuman mati atas diri Daud harus dilaksanakan oleh Daud. Namun biarpun Daud tidak dihukum mati ia harus membayar “empat kali lipat”. Pertama, bayi hasil perzinahan Daud mati. Kedua, anak laki-laki Daud Absalom dibunuh. Ketiga, anak perempuannya dicemarkan. Terakhir Daud kehilangan kerajaannya. Kasih dan hukuman mati tidak betentangan. Jika kasih dan hukuman mati bertentangan atau tepisah maka pengorbanan Kristus merupakan kontradiksi.Salib tidak menghapuskan hukuman mati. Hukuma mati masih dianjurkan dalam Perjanjian Baru setelah peristiwa Salib (Rm 13:4; Kis 25:11)
2. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berlawanan dengan rehabilitisionisme. Pandangan ini menghendaki hukuman mati untuk semua kejahatan besar. Para pendukung rekonstruksi klasik percaya bahwa masyarakat seharusnya direkonstruksi berdasarkan hukum Musa yang ada di dalam Perjanjian Lama. Jadi sikap mereka itu disebut theonomis karena mereka diperintah oleh hukum Allah. Hukum moral Allah dinyatakan kepada Musa dan tidak pernah dibatalkan. Hanya aspek-aspek ceremonial dari hukum Perjanjian Lama yang dibuang oleh Kristus. Tetapi hukum moral bersifat abadi karena hukum ini mencerminkan karakter Allah. Meskipun kejahatan dapat dihitung berlainan, terdapat duapuluh-satu kejahatan yang memerlukan hukuman mati dalam Perjanjian Lama:
1. Pembunuhan (Kel 21:12)
2. Tindakan menghina hakim (Ul 17:12)
3. Menyebabkan keguguran (Kel 21:22-25)
4. Kesaksian dusta dalam kejahatan yang berpotensi besar (Ul 19:16-19)
5. Kelalaian dari pemilik seekor lembu yang membunuh orang (Kel 21:29)
6. Pemujaan terhadap berhala (Kel 22:20)
7. Penghujatan (Im 24:15-16)
8. Ilmu sihir (Kel 22:18)
9. Nubuatan palsu (Ul 18:20)
10. Kemurtadan (Im 20:2)
11. Melangar hari sabat (Kel 31:14)
12. Homoseksual
13. Sifat kebinatangan (Im 20:15-16)
14. Perzinahan (Im 20:10)
15. Pemerkosa (Ul 22:25)
16. Inses (Im 20:11)
17. Mengutuki orangtua (Ul 5:16)
18. Pemberontakan yang dilakukan anak-anak (Kel 21:15,17)
19. Penculikan (Kel 21:16)
20. Kemabukan yang dilakukan seorang imam (Im 10:8-9)
21. Orang-orang yang tidak diurapi menyentuh barang-barang kudus di emah pertemuan (Bil 4:14)
Hanya lima nomor yang pertama melibatkan kejahatan-kejahatan besar baik yang benar-benar jahat maupun yang berpotensi jahat. Enam pelanggaran berikutnya adalah pelanggaran-pelanggaran agama, sementara delapan pelanggaran yang berikutya adalah bermacam-macam masalah moral. Dua pelanggaran yang terakhir berkaitan dengan tugas-tugas seremonial, meskipun kemabukan juga merupakan satu masalah moral (Ams 20:1; 23:21)
Argumentsi
1. Hukum Allah mencrminkan karakter-Nya yang tidak berubah. Hukum moral yang berasal dari Allah merupakan cerminan dari karakte moral Allah. Jika hukum Allah mencerminkan karakter moral-Nya, dan jika karakter moral Allah tidak berubah, maka hukum Allah yang diberikan melalui Musa masih berlaku hingga saat ini.
2. Perjanjian Baru mengulangi sepuluh hukum. Paulus mengemukakan banyak dari perintah itu di dalam Roma 13:9
3. Perjanjian Lama adalah Alkitab pada zaman gereja mula-mula. Gereja Kristen yang mula-mula tidak memiliki Perjanjian Baru, kitab ini tidak ditulis sampai pertengahan abad pertama (2 Tim 3:16)
4. Yesus berkata Dia tidak datang untuk menghapus hukum Taurat (Mat 5:17-18).
5. Hukuman mati diulangi di dalam Perjanjian Lama (Rm 13:4)
Evaluasi pandangan rekonstrusionisme
1. Tidak semua hukum Musa diharuskan oleh karakter Allah. Allah dapat dan menghendaki hal-hal yang bebeda pada waktu-waktu yang berbeda untuk orang-orang yang berbeda, semua yang sesuai dengan naturnya tetapi tidak smua yang dituntut olehnya.
2. Penganut rekonstruksinisme percaya bahwa hukum-hukum seremonial Musa tidak mengikat saat ini. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan bahwa Allah tidak dapat bekehendak agar hukum-hukum Perjanjian Lama mengenai hukuman mati dapat berubah juga. Jika Allah tidak menghendaki hukuman untuk beberapa pelanggaran yang patut mendapatkan kematian, bahkan di dalam sistem hukum di dalam Perjanjian Lama, maka tidak ada alasan mengapa Dia tidak dapat melakukan hal yang sama untuk pelanggaran yang lain di dalam Perjanjian Baru.
3. Tidak semua dari sepuluh hukum diulangi di dalam Perjanjian Baru. Perintah untuk beribadah pada hau Sabtu tidak diulangi untuk alasan-alasan tertentu.
4. Perjanjian lama adalah untuk, bukan kepada gereja. Jemat gereja mula-mula tidak memerlukan Perjanjian Baru yang tertulis, karena mereka mempunyai para rasul yang masih hidup (Kis 2:42; Ef 2:20) yang dapat memperlihatkan mujizat-mujizat yang khusus untuk menegaskan otoritas ilahi mereka (2Kor 12:12; Ib 2:3-4). Paulus berkata kepada orang-orang Kristen di Korintus bahwa Perjanjian Lama adalah contoh untuk mereka (1 Kor 10:11)
5. Yesus menggenapi hukum-hukum Perjanjian Lama. Yesus datang untuk menggenapi tuntutan-tuntutan yang pada tempatnya dari hukum dalam Perjanjian Lama (Mat 5:17-18; Rm 10:2-3). Dia tidak meniadakan hukum dengan menghancurkannya, tetapi dengan menggenapinya. Misalnya ada pengakuan bahwa larangan moral terhadap pezinahan tidak berubah dari zaman ke zaman. Allah selalu menentangnya, pertanyaannya adalah apakah Dia selalu menuntut hukuman yang sama untuk pelanggaran ini dalam setiap zaman.
6. Tidak semua hukuman-hukuman besar diulangi dalam Perjanjian Baru. Ada indikasi bahwa hukuman mati tidak dituntut untuk beberapa pelanggaran yang terdaftar dalam Perjanjian Lama, misanya perzinahan (1 Kor 5:5; 2 Kor 2:6)
7. Perbedaan antara kategori-kategori seremonial dan moral gagal. Tidak ada bagian di dalam Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa ada pemisahan yang dibuat antara moral dan sipil atau antara aspek-aspek sipil dan seremonial dari hukum Musa. Dan tidak ada bagian dari Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa hanya aspk-aspk seremonial dari hukum Musa dihapus.
8. Para rasul membatalkan hukum. Para Rasul menentang bahwa orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan “menuruti hukum Musa” (Kis 15:5). Karena itu fakta bahwa paa rasul meminta dengan tegas agar tidak “lebih banyak beban daripada yang perlu ini” (Kis 15:28) membuktikan bahwa mereka tidak percaya orang-orang Kristen di bawah hukum Musa.
3. Retribusionisme
Pandangan ini berpendapat bahwa hukuman mati itu sah untuk beberapa kejahatan yaitu kejahatan-kejahatan yang besar. Tidak seperti rehabilitasionisme , retribusionisme percaya bahwa tujuan utama dari hukuman mati adalah untuk menghukum, pandangan ini percaya bahwa pemerintahan sipil tidak terikat oleh hukum Musa yaitu mengenai hukuman mati. Pada waktu Allah mendirikan pemerintahan manusia dan memberikannya otoritas yang besar, tujuannya adalah untuk menangani kejahatan-kejahatan yang besar. Secara eksplisit Allah berkata kepada Nuh: Genesis 9:5-6 5 Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia. 6 Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.
Argumentasi
1. Allah memberilan kuasa untuk menghukum mati kepada pemerintahan manusia. Allah mengadakan pemerintahan manusia yang melaluinya menerima otoritas besar yang telah dijalankan oleh keluarga-keluarga.
2. Hukuman mati dimasukkan ke dalam hukum Musa. Pada waktu Allah memerintahkan hukuman mati kepada orang Israel (Keluaran 21), ini bukan pertama kalinya Allah mengadakan. Hukuman Hukuman mati terkandung sejak dari mulanya (Kejadian 4) dan diberikan kepada pemerintahan manusia di bawah Nuh untuk kejahatan-kejahatan yang besar (Kejadian 9:6). Apa yang dilakukan hukum Musa hanyalah memasukkannya dan memperluasnya ke dalam banyak kejahatan-kejahatan yang tidak besar lainnya, termasuk kejahatan-kejahatan agama dan seremonial. Israel adalah bangsa yang terpilih di mana Allah memerintah dalam cara yang khusus (Keluaran 19). Karena itu, sebagaimana Israel memiliki sistem teokrasi, alasan-alasan untuk hukuman mati ini tidak dimaksudkan untuk bangsa-bangsa lainnya ¬Misalnya, Allah tidak pernah memerintahkan bangsa-bangsa lainnya untuk beribadah pada hari Sabat atau membayar perpuluhan di Bait Allah di Yerusalem. Karena itu, bangsa-bangsa bukan Yahudi tidak dihukum karena tidak melakukan hal ini, meskipun mereka dihakimi karena sejumlah besar dosa, mulai dari kesombongan sampai ketidakadilan (Obaja 1). Tetapi, Israel sering dihukum oleh Allah karena melanggar hukum-hukum yang khusus ini. Individu-individu bahkan dijatuhi hukuman mati karena tidak memelihara hari Sabat (Keluaran 31:14). Di bawah Allah, Musa tidak mengadakan hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan yang besar; Dia hanya memasukkannya ke dalam hukum-Nya. Tetapi Dia memang memperluas hukuman mati sampai pada kejahatan-kejahatan yang tidak besar. Allah tidak memberikan hukuman mati kepada bangsa-bangsa pada umumnya, tetapi Dia memberlakukannya untuk bangsa pilihan Allah di dalam cara-cara yang khusus. Jika hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan yang besar tidak diberikan bersamaan dengan hukum Musa, maka hukuman ini tidak hilang bersamaan dengan hukum Musa. Hukuman ini tetap ada ketika hal yang unik di dalam hukum Musa telah hilang Ibrani 7-8).
3. Hukuman mati ditegaskan kembali di dalam Perjanjian Baru. Pedang yang diberikan dari atas untuk pemerintahan manusia untk hukuman mati (Kej 9:6) secara eksplisit ditegaskan kembali dalam Perjanjian Baru (Rm 13:4). Yesus mengakui hal ini dihadapan Pilatus (Yoh 19:11. dari beberapa argumentasi yang sudah ditulis berikut evaluasi-evaluasi yang diberikan maka penulis lebih menyutujua pandangan yang ketiga yaitu retribusionosme. Uukuman mati sah untuk kejahatan-kejahatan besar, namun untuk mengkategorikan kejahatan-kejahatan tersebut semuanya diserahkan kepada negara yang merupakan wakil Allah. Anak-anak Tuhan wajib menaati hukum dan perundangan yang berlaku dimana mereka tinggal, namun jika hukum yang berlaku bertentangan dengan iman kita maka seyogyanya anak-anak Tuhan tidak memberontak namun mengambil waktu berdoa. paling baik adalah mengikuti teladan Daniel dalam menyikapi hal ini (silahkan baca kitab Daniel), Tuhan Yesus memberkati.
Filed Under: Artikel
0 comments
Trackback URL | Comments RSS Feed